Tongtonge adalah seorang anak remaja yang lugu. Ia tidak pernah sekolah.
Sejak kecil ia hidup bersama ayahnya berpindah-pindah dari satu ladang ke
ladang yang lain. Ia tak pandai bekerja di sawah, apalagi di sawah yang selalu
berlumpur. Lumpur bisa merusak kaki. Itu alasannya. Oleh karena itu, ia tidak
suka tinggal di kampungnya. Ia memilih tinggal di ladang yang semakin lama
semakin jauh dari kampungnya. Sesekali ia pulang menjenguk ibunya yang sudah
tua dan kurang pendengarannya.
Pada suatu hari, Tongtonge berhasil membuat “bubu” (alat menangkap ikan).
Bubu itu disimpannya di dekat pagar ladangnya. Karena sibuknya membenahi
ladangnya, ia tidak sempat ke sungai menangkap ikan dengan bubunya.
Suatu hari, Tongtonge ingin menangkap ikan di sungai. Kemudian, ia menuju
tempat penyimpanan di mana bubunya. Ternyata bubu itu telah habis dimakan
anai-anai. Dengan nada marah, ia berkata, “Simpan bubu dekat Pagar, bubu
dimakan anai-anai, maka anai-anailah yang saya ambil”. Dengan berkata demikian,
maka dikumpulkanlah semua anai-anai yang ada di situ. Anai-anai itu dibungkus
dan dibawa menjenguk ibunya di kampung. Sampai di suatu tempat ia beristirahat
sejenak.
Karena kelelahan ia tertidur. Pada saat terbangun, ia segera mengambil
bungkusannya yang berisi anai-anai itu. Tetapi anai-anai itu telah habis
dimakan ayam. la pun berkatalah, “Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan
ayam, maka ayamlah yang saya ambil.” Sambil berkata demikian, ia menangkap ayam
yang memakan anai-anai tersebut. Ayam itu lalu dibawanya melanjutkan
perjalanan. Sesampai di suatu pemukiman penduduk, ia berhenti. Ayam itu
dikepitnya kemana pun ia pergi. Melihat tingkah laku yang aneh itu, salah
seorang penduduk menegurnya, “Tongtonge, titipkan ayammu kepadaku, sementara
engkau makan dan beristirahat.”
“Terima kasih, tetapi hati-hati jangan sampai ayamku mati”.
“Jangan khawatir, nanti kalau ayammu mati saya ganti”.
Tak lama kemudian apa yang dikhawatirkan Tongtonge pun terjadi. Ayamnya mati
terlimpa alu penumbuk padi. Lalu, berkatalah si penumbuk padi, “Maaf Tongtonge
ayammu mati tertimpa alu. Nanti akan saya ganti dengan ayamku.
Tongtonge menjawab, “Oh tidak, itu tidak adil. Jika ayamku mati tertimpa
alu, maka alu itulah sebagai gantinya”. Lalu ia bergumam, “Bubu dimakan
anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati terlimpa alu, maka alulah yang
saya ambil”.
Setelah bergumam demikian, maka Tongtonge melanjutkan perjalanan dengan
memikul alu.
Kampungnya masih jauh. Di tengah jalan, ia ditegur seorang penggembala sapi,
“Hai anak muda bolehkah Saya meminjam alumu untuk saya jadikan palang pintu
kandang sapi-sapi saya.
“Boleh, tetapi harus hati-hati jangan sampai patah”.
“Kalau hanya itu saja syaratnya, kau boleh ambil salah satu dari seratus
sapiku ini”.
Mereka telah bersepakat. Tongtonge ikut membantu memasang alu itu sebagai
palang pintu. Tidak lama kemudian, seekor sapi yang cukup besar lari dengan
kencang menabrak palang pintu tersebut. Apa yang dikhawatirkan pun terjadi. Alu
itu patah. Tongtonge pun berkata,
“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam tertimpa alu, alu
patah karena sapi, maka sapilah yang saya ambil”.
Selesai berkata demikian, Tongtonge langsung menangkap sapi yang mematahkan
alunya, kemudian dituntunnya melanjutkan perjalanan menuju kampungnya. Siang
itu, hari cukup terik. Kampung yang dituju masih jauh. Maka Tongtonge pun
beristirahat lagi. Sapinya ditambatkan di bawah pohon nangka yang rindang. Bau
nangka masak tercium olehnya. Lalu, ia memanjat pohon nangka dan memetik yang
telah masak. Pohon itu ridak ada yang punya, karena tidak terletak di dalam
pagar. Ia makan dengan lahapnya buah nangka yang ternyata sangat manis. Karena
kekenyangan, ia tertidur. Sementara tertidur, angin bertiup agak kencang.
Banyak buah nangka masak yang jatuh. Sebuah nangka yang cukup besar jatuh,
menimpa sapi yang tertambat di bawahnya. Sapi itu mati seketika.
Tongtonge bergumam pula, “Simpan bubu dekat pagar, bubu dimakan anai-anai,
anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati
tertimpa nangka, maka nangkalah yang saya ambil”.
Setelah itu, Tongtonge memungut nangka Yang menimpa sapinya, lalu
melanjutkan perjalanan. Karena nangka itu cukup berat, ia perlu beristirahat.
Sampailah ia di sebuah gubug. Di gubug itu tinggal seorang gadis yang cantik.
Gadis itu mengajak Tongtonge beristirahat, dengan maksud ditawari makan nangka
oleh Tongtonge. Akan tetapi, Tongtonge tidak bermaksud memakan buah nangka itu.
Buah nangka itu untuk ibunya. Tongtonge menitipkan nangkanya kepada gadis itu,
sementara ia mandi. Gadis itu tidak dapat menahan seleranya. Nangka itu pun
dikupas dan dimakannya.
Sekembalinya dari kali, Tongtonge sangat kecewa karena nangka itu telah
dimakan oleh sang gadis. Ia pun berkata dalam hati, “Diriku memang sial, bubu
disimpan dekat pagar, bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati
tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan
gadis, maka gadis inilah yang saya ambil.”
Tongtonge kemudian menyiapkan dua buah keranjang. Keranjang yang satu untuk
sang gadis, yang satu diisi batu agar seimbang.
Tongtonge melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya dengan memikul
seorang gadis cantik. Di tengah jalan ia berhenti mau buang air besar. Gadis di
keranjang berkata, “Tongtonge, kalau mau buang air besar jauh-jauhlah dari
sini. Cari sungai, kalau di dekat sini, nanti saya bisa pingsan mencium
kotoranmu.” Tongtonge pun pergi mencari kali untuk buang air besar. Sementara
itu, si gadis turun dari keranjang, lalu mencari batang kayu dan batu ditaruh
di keranjang mengganti dirinya. Lalu, ia lari kembali ke kampungnya. Sementara
itu, Tongtonge telah kembali.
Tanpa periksa, segeralah ia mengangkat keranjang itu. Dengan semangat yang
menyala, ia ingin segera menyampaikan berita gembira kepada ibunya, bahwa ia
telah membawa gadis cantik calon istrinya.
Tidak terasa kampungnya semakin dekat. Rumahnya mulai tampak. Ia bergegas,
semakin dekat, walaupun penuh keringat. Dengan tidak sabar ia memanggil ibunya,
“Ibu! Ibu! Calon menantu ibu telah datang!”
Mendengar suara Tongtonge, ia menyahut dari dalam, “Kalau batu dan batang
taruh saja di bawah kolong rumah.” Sambil berkata demikian, ibunya membuka
pintu. “Apa yang kau bawa ini Tongtonge?” tanya ibunya. “Ini calon menantu
Ibu,” jawab Tongtonge sambil menunjuk salah satu keranjang.
“Ooo…. batu batang,” jawab ibunya.
“Menantu Ibu datang!” teriak Tongtonge agak keras, sambil mendekatkan
mulutnya ke telinga ibunya.
“Kalau begitu mengapa engkau tidak membukanya!” lanjut ibunya. Ternyata…,
benarlah kata ibunya, setelah keranjang itu dibuka, isinya hanya batu dan
batang pohon. Lemaslah Tongtonge merenungi nasibnya.
Tongtonge adalah lambang kebodohan, akibat tidak sekolah. Oleh karena itu,
sekolah sangat penting. Dengan bersekolah, kita memperoleh berbagai pengetahuan
dan keterampilan yang menyebabkan kita tidak mudah dibodohi orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar