Di Kalimanatan terdapat sebuah sungai yang terkenal yaitu Sungai Mahakam. Di
sungai tersebut terdapat ikan yang sangat khas bentuknya yaitu Pesut.
Sebenarnya pesut bukanlah ikan tetapi mamalia air sebagaimana Lumba-lumba dan
Paus. Menurut penduduk sekitar sungai tersebut Pesut bukanlah sembarang ikan
tetapi adalah jelmaan manusia
Ceritanya pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun
yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah
sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun
tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam
pertunjukan ketangkasan dan kesenian.
Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga
yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri
dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka
tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami
berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam
kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup
dengan bahagia selama bertahun-tahun.
Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah
diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula
hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga
ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karen
a
kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan
pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa
yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat
lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut
dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan
padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.
Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai
pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan,
terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat
sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang
demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana
kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak
pemuda yang tergila-gila dibuatnya.
Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan.
Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu
akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan
permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda
dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji
penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah
tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton
yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua
pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa
kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta
antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.
Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari
para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat
di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini
mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan
yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang
dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah
menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai
berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.
Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu
baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak
tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari
ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat
berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga
diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang
anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan
disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.
Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia
menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!”
“Tapi, Bu…” jawab anak lelakinya, “Untuk apa kayu sebanyak itu…? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi…”
“Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!” kata si ibu tiri dengan marahnya.
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!”
“Tapi, Bu…” jawab anak lelakinya, “Untuk apa kayu sebanyak itu…? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi…”
“Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!” kata si ibu tiri dengan marahnya.
Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera
pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja
untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa
perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu
yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa
lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar
dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah
mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.
Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya.
Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka
tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang
kakek tua datang menghampiri mereka.
“Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!” tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
“Kalau begitu…, pergilah kalian ke arah sana.” kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”
“Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!” tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
“Kalau begitu…, pergilah kalian ke arah sana.” kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”
Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas
menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi,
disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka,
cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah.
Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan
di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan
badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat
kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang
diminta sang ibu tiri.
Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil
diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa
memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk
melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat
isi rumah yang telah kosong melompong.
Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu.
Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini
berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak
beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan
keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang
terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri
anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.
Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya.
Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga
yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan
kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan
ibu tiri mereka.
Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai,
sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah
mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api
mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya
kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.
Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang
kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu
lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
“Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?” tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
“Maaf, Tok.” kata si anak lelaki, “Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?”
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmm…, beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini.” kata si kakek kemudian, “Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
“Tak salah lagi, Tok.” kata anak lelaki itu dengan gembira, “Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?”
“Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana.”
“Terima kasih, Tok…” kata si anak sulung tersebut, “Tapi…, bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?”
“Datok ni dah tuha… mana kuat lagi untuk mendayung perahu!” kata si kakek sambil terkekeh, “Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
“Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?” tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
“Maaf, Tok.” kata si anak lelaki, “Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?”
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmm…, beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini.” kata si kakek kemudian, “Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
“Tak salah lagi, Tok.” kata anak lelaki itu dengan gembira, “Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?”
“Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana.”
“Terima kasih, Tok…” kata si anak sulung tersebut, “Tapi…, bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?”
“Datok ni dah tuha… mana kuat lagi untuk mendayung perahu!” kata si kakek sambil terkekeh, “Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek.
Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil
menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu
menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa
lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui
keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan
perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan
perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali
penduduknya.
Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun.
Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si
kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik
berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di
belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya
karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu
memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan
baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka
pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang
milik ayah mereka.
Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada
periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut
ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi
bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke
dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia
menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian,
ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.
Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun
menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari
kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di
kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon
pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah
mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang
memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika
melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.
Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah
bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus
memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang
tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka
kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di
kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.
Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang
bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya.
Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada
hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah
tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang
suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan
mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.
Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai
untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya
mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai
sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya.
Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua
makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika
terkena semburannya.
Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan
Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan
Bawoi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar